Yogya menyimpan banyak tempat bersejarah yang ramai dikunjungi pelancong, seperti keraton. Selain itu, sebagai kota budaya, wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) juga menyimpan kekayaan kuliner yang berkaitan dengan tradisi masyarakat. Salah satunya terlihat di Desa Guwosari, Pajangan, Bantul, yang hingga kini masih melestarikan kenduri pada malam ke-21 di bulan Ramadan.
Menurut Supriyadi (51) salah satu warga desa, tradisi ini sudah ratusan tahun dilakukan secara turun-temurun. Tradisi kenduri ini membagikan berkat nasi gurih (warga setempat menyebutnya nasi wuduk) plus suwiran lauk ingkung ayam areh yang terbuat dari santan kelapa.
“Pada malam selikuran (selikur artinya 21), biasanya warga desa berkumpul di rumah Pak Dukuh. Masing-masing membawa berkat nasi dari rumah. Pak Dukuh membuat nasi wuduk atau nasi gurih dengan lauk ingkung. Setelah didoakan oleh pemimpin agama, nasi wuduk dibagikan sedikit-sedikit kepada warga, sementara nasi yang dibawa dari rumah dibawa pulang kembali,” jelasnya.
Hari-hari bersejarah yang hanya terjadi setahun sekali itu selalu mengingatkan ayah tiga anak ini kepada almarhumah ibundanya, Ny. Suratinah, seorang guru madrasah. “Waktu saya kecil, ibu selalu membuat nasi wuduk dan ingkung ayam saat berziarah ke makam,” tuturnya.
Ingkung ayam dengan rasa istimewa itu, lanjut Supriyadi, juga selalu mewarnai ritual hari-hari bersejarah seseorang mulai dari kelahiran hingga pernikahan dalam budaya Jawa. Namun, seiring perkembangan zaman, tradisi membuat kenduri plus ingkung semakin ditinggalkan. Orang lebih suka membagi kue atau sembako yang lebih praktis. Ini dipandangnya akan menggerus tradisi membagi bancakan /kenduri. “Dari sanalah terbetik di benak saya untuk mengangkat kuliner tradisional ingkung ayam.”
Demi melestarikan kuliner ritual bersejarah itu, Supriyadi yang sebelumnya sukses berbisnis ikan wader (semacam baby fish ) membuka rumah makan khusus ingkung ayam kampung di rumahnya. Supriyadi membuka rumah makan Juni 2013.
Lokasi rumah Supriyadi sebenarnya tidak begitu strategis. “Masuk ke dalam dusun dan di pinggir sawah, karena sewa tempat di pinggir jalan raya amat mahal.” Siapa sangka lokasi yang tergolong di “pedalaman” tak menyurutkan minat pembeli memburu ingkung ayam Mbah Cempluk . Tiap hari, khususnya weekend dan hari libur nasional, tamu tak pernah berhenti. Mobil berderet di jalan pedesaan.
Tak hanya makan di tempat, pembeli pun memesan untuk dibawa pulang. Perkantoran dan masyarakat yang hendak mengadakan acara syukuran memesan ingkung kepadanya. Lantas, apa kuncinya hingga ingkung ayam kampung diburu? “Saya utamakan rasa dan pelayanan yang baik.”
Soal rasa, Supriyadi memang tidak main-main. Sebelum rumah makan dibuka, Supriyadi mendatangkan tiga koki khusus pembuat ingkung tradisional yang biasa memasak ingkung di desanya. “Dari ketiga koki itu, saya pilih satu. Dua lainnya tetap saya pekerjakan. Untuk pelayanan, saya belajar dari berbagai rumah makan yang pernah saya datangi. Saya ambil yang positif bagaimana melayani tamu. Saya tidak memakai konsultan,” terang lulusan SMA ini.
“Kunci mendatangkan pembeli dimulai dengan mengundang tamu-tamu dari perkantoran dan koleganya. Satu undangan berlaku lima orang. Setelah pembukaan, saya memberi diskon 50 persen. Dari sanalah promosi berjalan lewat mulut ke mulut. Ditambah saya membuat website ,” terang Supri yang bermodal Rp60 juta.
Kini per hari Supri bisa menjual 40 hingga 50 ingkung gurih. “Saya juga menjual ingkung goreng dan bakar. Saya melengkapinya dengan 10 menu andalan lainnya. Yakni aneka olahan ikan.”
Untuk bisa mencicipi ingkung di waktu weekend , calon pembeli biasanya telepon atau kirim SMS lebih dulu. ”Maksudnya biar tidak nunggu kelamaan. Selain itu juga jangan sampai sudah jauh datang dari kota, tiba di tempat sudah kehabisan,” tutur Supriyadi seraya menjelaskan harga ingkung bisa berubah setiap saat. “Tergantung besarnya ayam yang tersedia. Kalau kecil Rp90.000. Tapi, kalau dapat ayam besar, harganya bisa Rp125.000.”
Untuk mencapai Desa Guwosari, dari Yogya pembeli menuju arah Kabupaten Bantul. Sampai Masjid Agung belok ke kanan lurus dan memasuki jalan desa. Rumah Makan Mbah Cempluk pun mudah ditemukan. Hanya saja sekarang, tamu dari Yogya tak perlu jauh datang ke desa. Pada pertengahan 2014, Supriyadi telah membuka dua cabang rumah makannya. Satu di kawasan Jl.Kabupaten, Kabupaten Sleman (tak jauh dari Kantor Pemkab Sleman).
Melihat ada peluang bisnis di Jalan Kaliurang (Jakal), Supriyadi yang akrab dikenal Mbah Cempluk kini membuka cabang baru Rumah Makan Ingkung Mbah Cempluk di Jakal Km 16 Dusun Kledokan Desa Umbulmartani Kecamatan Ngemplak Sleman, Yogyakarta. Selain membuka cabang baru, secara tidak sengaja mbah Cempluk juga mampu menyerap banyak tenaga kerja dari warga sekitar.
"Saya punya mimpi, warung makan ini bisa melibatkan banyak sektor. Antara lain sektor perikanan dan peternakan. Maka tak salah jika saya juga bekerjasama dengan UKM, kelompok tani atau ternak," ungkap Supriyadi disela acara soft opening RM Ingkung Mbah Cempluk cabang Guwosari di Jakal Km 16 Sleman, Yogyakarta.
Target Supri setahun ke depan adalah memiliki lima cabang Mbah Cempluk. “Biar bisa membantu pemerintah membuka lapangan pekerjaan. Dari sisi agama, artinya membagi rezeki,” terangnya.
Adapun beberapa bahan baku yang dipakai warung makan tersebut seperti beras organik, ikan gurame, ayam kampung dan lain-lain berasal dari UKM serta kelompok tani. Sehingga bisnis kuliner yang dijalankan Supriyadi mampu mensejahterakan masyarakat sekitar.
Kesuksesan Supri berjualan ingkung, mau tak mau diikuti beberapa pebisnis lain yang menjual dagangan serupa di kawasan Bantul. Supri mengaku tidak mempermasalahkan.
Lalu, bagaimana bisnis wader yang selama ini jadi andalan” “Bisnis itu dikelola istri saya, Ratmiati, dibantu tiga karyawan. Tiap hari saya mengolah 100 kilogram wader. “ Perintis bisnis wader adalah ibu mertua saya. Saya hanya membantu memasarkan dan mengembangkan. Makanya di Mbah Cempluk juga ada menu wader sambal hijau,”. Nikmat , Sedap, Mantap.